Rabu, 30 Agustus 2017


http://alkhairaat.sch.id/

Abu Salma al-Atsari

Kebatilan Jemaah Tabligh! Kritikan pemahaman Jemaah Tabligh dan kitab 'Tablighi Nishab' Oleh: Abu Salma al-Atsari SEJARAH RINGKAS Jama’ah Tabligh didirikan oleh Syaikh Maulana Ilyas bin Syaikh Muhammad Ismail Al-Kandahlawi Al-Hanafi –Rahimahullah di kota Sahar Nufur, India. Beliau dilahirkan tahun 1303H di lingkungan keluarga yang mengikuti tariqat Al-Jitsytiyyah ash-Shufiyyah. Beliau orang yang hafidz dan menimba ilmu di Madrasah Diyuband setelah diba’iat oleh guru besar tariqat, Syaikh Rasyid Ahmad Al-Katskuhi. Pusat perkembangan jama’ah tabligh adalah di India, tepatnya perkampungan Nidzammudin, Delhi. Mereka memiliki masjid sebagai pusat tabligh yang dikeliliingi oleh 4 kuburan para wali. Mereka terkesan sangat untuk mengagungkan masjid tersebut dan menganggapnya suci dengan adanya kuburan tersebut. Dakwah jama’ah tabligh menyebar hingga ke Pakistan, Bangladesh dan negara-negara asia timur dan menyebar hingga ke seluruh dunia. Tujuan dakwah mereka adalah membina ummat Islam dengan konsep khuruj/jaulah[1] yang lebih menekankan kepada aspek pembinaan suluk/akhlak, ibadah-ibadah tertentu seperti zikir, zuhud, dan sabar[2]. Nota kaki; [1] keluar wilayah untuk berdakwah dengan jumlah waktu yang telah ditentukan seperti 4 bulan, 40 hari, seminggu, dsb. [2] baca ‘Jama’ah Tabligh’ karya M. Aslam Al-Bakistani – mantan tokoh Jama’ah tabligh yang ruju’/taubat dari manhaj tablighi. Ijtima' tabligh sedunia, India AQIDAH JAMA'AH TABLIGH Jama’ah tabligh bermanhaj sufi dalam masalah aqidah. Tasawwuf sangatlah mendominasi anggota-anggota jama’ah di mana mereka cukup bersemangat dalam ibadah dan zikir, melatih diri dengan sedikit makan dan minum, tidur dan berbicara. Mereka juga mencurahkan perhatian besar terhadap mimpi dan takwilnya. Aqidah mereka menurut pandangan ahlus sunnah wal jama’ah adalah rosak dan khatir, sesat dan menyesatkan. Aqidah jama’ah tabligh bercampur-baur dengan syirik, khurafat, bid’ah, wihdatul wujud dan hulul [3]. Mereka berkeyakinan akan adanya mukasyafah [4], wali-wali aqhtab [5], dan mereka membenarkan ucapan-ucapan syatahat [6]. Mereka juga menghidupkan dan mengajarkan bid’ah-bid’ah syirkiyyat seperti tabaruk [7], tawassul terhadap makhluk, terhadap kuburan-kuburan nabi serta wali, dan syirik-syirik yang nyata lainnya. Mereka juga menghidupkan bid’ah-bid’ah mawalid dengan membaca qashidah burdah yang penuh dengan syirik dan bid’ah.[8] itu. Nota kaki; [3] akan datang keterangannya mengenai kesesatan aqidah jama’ah tabligh ini. [4] tersingkapnya tabir ghaib sehingga manusia dapat mengetahui yang ghaib dan ini merupakan aqidah shufi yang rusak [5] keyakinan adanya wali-wali kutub yang memiliki kemampuan mempengaruhi kahidupan makhluk –ini termasuk kesyirikan yang nyata [6] (ucapan-ucapan yang keluar dari orang-orang shufiyah ketika akal mereka hilang dan mereka menganggap mereka (orang-orang shufiyah ini, peny.) dalam maqam yang paling tinggi dan ucapannya hampir seperti wahyu –Wallahul musta’an) [7] mencari berkah baik di kuburan ataupun di tempat-tempat yang dikeramatkan dan ini termasuk kesyirikan yang nyata [8] Baca kitab mereka yang berjudul Bahjatul qulub karya Muhammad Iqbal, salah seorang tokoh jama’ah tabligh, buku ini penuh dengan keanehan-keanehan, kesyirikan dan kebid’ahan yang sesat lagi menyesatkan. Himpunan tabligh sedunia di Nilai, Malaysia KHURUJ: CARA DAKWAH YANG BID’AH Mereka begitu mencintai corak dakwah yang dinamakan khuruj ini, bahkan seolah-olah khuruj ini termasuk dalam bahagian yang tidak terpisah dari syariat Islam yang murni dan suci ini. Mereka telah mengotori manhaj dakwah nabi dengan memasukkan apa-apa yang bukan datang darinya. Mereka begitu mengagung-agungkan cara ini, sehinggakan jika ada di antara jama’ah yang disuruh memilih antara khuruj dan haji, maka mereka lebih rela memilih dan menyatakan keutamaan khuruj; sambil berhelah menyatakan, jika kita berhaji maka pahal dan kebaikannya adalah untuk kita sendiri sahaja. Namun jika kita melaksanakan khuruj maka pahala dan kebaikannya selain untuk diri kita, ia juga untuk manusia lainnya. Bahkan mereka lebih memuliakan khuruj jika hendak dibandingkan dengan jihad fi sabilillah, sebab menurut mereka khuruj itulah jihad fi sabilillah. Mereka berdalil tentang disyariatkan khuruj ini dengan mimpi pendiri jama’ah tabligh, yakni Maulana Ilyas Al-Kandahlawi, yang bermimpi tentang tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran 110 yang berbunyi; “Kuntum khoiru ummatin UKHRIJAT linnasi …” mereka menafsirkan kata 'ukhrijat'dengan makna keluar untuk mengadakan perjalanan (siahah). Benarlah bahawa ia tafsiran yang batil menyalahi hampir seluruh kitab tafsir ulama’ salaf dan khalaf. Malah mereka pun ketika khuruj dan berdakwah kepada ummat tanpa disertai oleh ilmu dan bashirah (hujjah yang nyata dan jelas). Mereka mengajak kaum muslimin untuk menegakkan solat namun mereka tidak mahu membahas permasalahan solat secara mendalam beserta hujjah dan dalilnya. Mereka tidak tahu bagaimana sifat solat rasulullah yang benar itu? Mereka hanya mengajak untuk mencontohi Rasulullah, sedangkan mereka tidak mengetahui sunnah-sunnah dan hadits Rasulullah. Sebaliknya, mereka pun tidak peduli entah apa yang mereka gunakan itu hadits dhaif atau maudhu’. Apa yang penting bagi mereka ia tetap sebuah hadis! Mereka telah menetapkan sesuatu syariat yang seharusnya menjadi hak Allah dan rasul-Nya. Mereka mengkhususkan bilangan jumlah hari dalam dakwah (dibaca: khuruj) secara tertentu tanpa ada keterangannya dari Rasulullah. Mereka menentukan bilangan hari dalam khuruj dengan bilangan yang tidak ada dasarnya sama sekali dari sunnah. Mereka menentukan bilangan hari khuruj selama 6 bulan, 3 bulan, 40 hari, 20 hari, 7 hari lalu seminggu. Suatu pengkhususan yang tidak berasas dan mendasar ke dalam manhaj dakwah Rasulullah saw. Mereka begitu terdorong dan bersemangat mengikuti hadits Rasulullah yang menyatakan: “Balligu ‘anni walau aayah…” (Sampaikan dariku walau satu ayat…). Namun mereka melupakan kata ‘annii (dariku, yakni dari Rasulullah), yang seharusnya mereka menyampaikan ayat yang telah benar-benar nyata dari baginda. Mereka juga lupa akan ayat Allah yang berbunyi : “Katakanlah (wahai Muhammad): Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajakmu kepada Allah atas bashiroh (hujjah yang nyata)” - surah Yusuf: 108. Di mana mereka seharusnya menyeru kepada Islam di atas hujjah yang nyata! Khuruj yang dilakukan jama’ah tabligh yang mereka tentukan jumlah hari yang pada hakikatnya tidak pernah menjadi amalan generasi para salaf dan khalaf. Apa yang menghairankan adalah mereka keluar untuk tabligh (menyampaikan Islam) namun mereka mengakui bahwa mereka tidak layak untuk tabligh dan bukan ahlinya pula. Tabligh seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan ilmu yang mendasar seperti yang dilakukan oleh Rasulullah. Baginda telah mengutuskan delegasinya yang terdiri dari para sahabat alim yang mengajarkan Islam kepada ummatnya. Baginda mengutuskan Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, dan selainnya seorang diri, tidak pernah beliau mengutus serombongan sahabat lain untuk menyertai individu-individu utusan rasul tersebut. Oleh sebab itu kami menasihati jama’ah tabligh untuk lebih memperdalami ilmu agama ini. Mengenai ucapan mereka dari kalangan Jama’ah Tabligh yang menyatakan;“Lihatlah para sahabat, mereka berasal dari Mekah, ada yang berasal dari Madinah. Namun kuburan-kuburan mereka tersebar, ada yang dikuburkan di negeri Bukhara, di negeri Samarkhand, dalam negeri Andalusia…” maka sungguh mereka salah meletakkan ucapan yang menqiaskan apa yang dilakukan oleh para sahabat itu sebagai khuruj ala tablighi. Namun adalah mereka, para sahabat –Ridhwanullah ‘alaihim ajma’in- mereka keluar adalah dalam rangka jihad fi sabilillah. Anggota tabligh! KEANEHAN KITAB TABLIGHI NISHAB/ FADHAILUL ‘AMAL Sungguh, mereka benar-benar telah menjadikan 2 kitab tulisan tokoh mereka yakniTablighi Nishab[9] yang ditulis oleh Maulana Zakaria al-Kandahlawy dan Hayatus-Shahabah yang ditulis oleh Maulana Yusuf al-Kandahlawy, sebagaimana 2 kitab syaikhani[10]. Padahal 2 kitab yang mereka jadikan rujukan utama, yang sentiasa mereka baca di setiap waktu, yang mereka cintai, yang selalu mereka bawa ke mana-mana itu adalah kitab yang sesat lagi menyesatkan. Di dalamnya bercampur di antara hadits shahih dengan hadits dhaif, maudhu’, dan laa ashla lahu, yang di dalamnya terkumpul bid’ah, syirik, khurafat, dongeng, mitos, dan kesesatan lainnya[11]. Nota kaki; [9] Atau dikenal dengan Fadhailul ‘amal. Nama fadhailul ‘amal ini diambil sebagai usaha pentalbisan dengan mengangkat kebolehan penggunaan hujjah hadits dhaif dalam fadhilah ‘amal (amalan fadhilah). Namun mereka melupakan syarat-syarat bolehnya hadits dhoif digunakan sebagai fadhilah amal, lebih jauh lagi kitab ini bukan hanya mengangkat hadits dhoif sahaja, tetapi juga segala yang maudhu’, hikayat, dan segala dongeng-dongeng palsu. [10] iaitu Bukhari Muslim, wallahu a’lam. [11] Akan menyusul contoh-contohnya dalam risalah ini. Namun, begitu taqlidnya mereka, begitu husnudh-dhon sehingga mereka biarkan kesesatan itu tetap ada di dalam kitab. Malah mereka tidak redha dan tidak rela kitab mereka itu dibersihkan dari kesesatan ini. Mereka tetap mahukan kitab itu seperti apa yang ada padanya sebagaimana asal ditulis oleh penulisnya. Mereka tidak sedar bahawa penulis kedua-dua kitab itu bukan ma’sum, namun mereka tetap tidak mengindahkannya. Mungkin mereka menganggap seolah-olah penulis dua kitab itu bagaikan wali yang ma’sum. Semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka. Amin. Sungguh, telah banyak para ulama’ pencinta kebenaran yang membetulkan kitab-kitab semacam ini. Mereka telah berusaha membuang dan membersihkan agama dari kotoran, yang berusaha memelihara kemurnian agama ini, yang berusaha memerangi para ahli bid’ah dan kebid’ahannya. Namun, usaha mereka itu tidaklah mendapatkan tempat bagi orang-orang yang cinta akan kesesatan dan bid’ah. Di antara kesesatan kitab itu adalah; Tablighi Nishab mencampurkan hadits-hadits maudhu' dan dhoif 1. Dalam Fadha’iludz Dzikir, hal. 96 Diriwayatkan dari Umar, Rasulullah saw bersabda: “Manakala nabi Adam ‘alahi salam melakukan perbuatan dosa, ia mengetengadahkan kepala ke langit seraya berkata : ‘Ya Rabb, aku memohon kepada-Mu dengan keagungan Muhammad, ampunilah dosaku.’Maka Allah menurunkan wahyu dari ‘arsy. Lalu Adam berkata: ‘Maha suci nama-Mu, tatkala Kau menciptaku, aku mengetengadahkan kepalaku ke arah arsy, ternyata tertulis padanya, Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah. Maka aku mengetahui bahwa tak seorangpun yang lebih mulia martabatnya di sisi-Mu daripada orang yang telah engkau jadikan beriringan dengan nama-Mu.’ Lalu Allah berfirman kepada Adam:"Wahai Adam, sesunggunya Muhammad itu nabi terakhir dan termasuk anak cucumu, seandainya Muhammad tidak diciptakan maka Aku tidak menciptamu.” (Tablighi Nishab, bab Fadhailudz Dzikir, hal 96.) Keterangan: Hadits di atas adalah hadits maudhu’ dalam Al-Maudhu’at Al-Kabir. Perawi-perawi dalam hadits di atas majhul (tidak dikenali). 2. Dalam Fadha’iludz Dzikir, hal. 109-110 Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, bersabda Rasulullah: ‘Barangsiapa menziarahi kuburanku, maka wajib atasnya syafatku.’ (Tablighi Nishab, Bab Fadha’iludz Dzikir, hal. 109-110) Keterangan: Hadits di atas hadits maudhu’, lihat Dhaiful Jami’ no 5618. 3. Dalam Fadha’ilul Haj, hal. 101 Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menziarahiku setelah wafat maka ia laksana menziarahiku sewaktu aku hidup.” Berkata penulis: Diriwayatkan oleh Imam Thabrani, Daruquthni dan Baihaqi. Baihaqi menyatakan Hadits ini dhaif dalam Al Ittihaf. Berdasarkan riwayat Imam Baihaqi dalamAl-Misyqat disebutkan, “Siapa yang melakukan haji dan menziarahi kuburanku, maka ia seperti menziarahiku sewaktu aku hidup.” Berkata penulis: Al-Muwaffiq dalam Al-Mughni menjadikan hadits ini sebagai dalil terhadap keutamaan ziarah ke makam nabi. (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilul Haj, hal 101) Keterangan: Hadits di atas maudhu’ dalam Dha’iful Jami’ no 5563 Inilah sekelumit di antara kandungan hadits-hadits maudhu’ dalam Tablighi Nishab, yang masih sangat banyak lagi di dalamnya yang harus dibersihkan dan dibuang jauh-jauh. Rasulullah saw bersabda dalam haditsnya yang mutawattir: “Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja maka persiapkan duduknya di atas neraka”, termasuk berdusta atas nama nabi yakni menyampaikan kepada ummat apa-apa yang bukan dari beliau namun disandarkan terhadap beliau. Ia termasuk menyampaikan atau menggunakan hadits maudhu’, dan telah sepakat ummat ini bahwa hadits maudhu’ tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil. Tablighi Nishab berisi khurafat, hikayat dan dongeng Muhammad Zakaria al-Kandahlawy – semoga Allah mengampuninya- di dalam bukunyaTablighi Nishab telah merangkumkan khurafat, bid’ah, mitos dan hikayat-hikayat yang memekakkan telinga dan jauh dari khudrat dan tidak bisa dibenarkan oleh akal yang sehat. Rujukan yang dipegangnya tidak dapat dipercayai dan dia menukil dari pengarang yang tidak mendapatkan legitimasi para ulama’. Di antara kisah-kisah tersebut adalah; 1. Dalam Fadhailul Haj, hal 137-138, akhir bab IX, hikayat ke-13 Dinukil dari As-Suyuthi dalam kitab Al-Hawi bahawa Sa’id Ahmad Ar-Rifa’I berziarah ke makam Nabi setelah haji pada tahun 555H. Dia melagukan dua bait syair sebagai berikut; Dalam hal yang jauh, ruhku kulepaskan…. Bumi menerima dariku, kerana ia wakilku… Inilah kerajaan khayalan yang aku hadiri… Maka ulurkan tangan kananmu agar terengkuh oleh bibirku… Lalu tangan Nabi saw yang diberkati itu keluar dari makamnya yang mulia dan Ar-Rifa’i pun mencium tangan baginda. Penulisnya menambahkan dalam kitab Al-Bunyan Al-Masyid, “...ada 90 ribu orang yang menyaksikan hal itu. Mereka adalah peziarah makam Nabi. Di antara peziarah itu adalah Syaikh Abdul Qodir al-Jailani.” (Tablighi Anishab, bab Fadhailul Haj, hal 137-138, akhir bab IX, hikayat 13) 2. Dalam Fadha’ilul Haj, hal 133 Syaikh Abu Khair Al-Aqtha’ berkata, “Aku merasa lapar kerana selama 5 hari aku belum makan. Lalu aku berziarah dan ketiduran setelah aku membaca salawat kepada Nabi di sisi makamnya. Aku bermimpi Nabi saw datang bersama Syaikhani dan Ali r.a. Kemudian baginda memberi aku sepotong roti. Aku makan roti itu setengahnya, ketika aku terbangun, aku melihat setengah roti sisanya masih ada di tanganku.” (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilul Haj, hal 133) 3. Dalam Fadahilul hajj, hal 141 Syaikh Syamsuddin, ketua Khadamul haram An-Nabawi berkata: “Satu jama’ah dari Aleppo menyuap gabenor Madinnah agar mereka diizinkan membongkar makam Syaikhani dan mengambil jasad keduanya. Maka ketika itu datanglah 40 orang lelaki membawa cangkul pada malam harinya. Keempat puluh orang itu iba-tiba saja hilang ditelan bumi. Setelah itu gabenor Madinah berkata, ‘Janganlah kau sebarkan hal ini, atau aku akan memenggal kepalamu.” (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilul Haj, hal 141) 4. Dalam Fadha’ilul Haj, hal 87 Syaikh Zakaria berkata, “Dinukil dari beberapa syaikh, bahawa seorang syaikh yang tinggal di negeri Khurasan lebih dekat ke Ka’bah kerana dia selalu bersentuhan dengan Ka’bah jika dibandingkan dengan orang-orang yang selalu bertawaf di Ka’bah. Bahkan terkadang Ka’bah itu datang mengunjunginya.” (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilul Haj, hal 87) 5. Dalam Fadhailush Shadaqah, hal. 588. Ada dikisahkan: Syaikh Zakaria mengerjakan solat sebanyak 1000 raka’at dengan berdiri. Apabila dia merasa lelah, maka dia sholat dengan duduk sebanyak 1000 raka’at. (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilush Shadaqah, hal 588) 6. Dalam Fadha’ilul Qur’an, hal. 15. Ada diceritakan bahawa: Ibnu Katib mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari sebanyak 8 kali. 7. Dalam Fadhailul Haj, hal. 218. Ada diceritakan bahawa: Nabi Khidr mengerjakan solat subuh di Mekah dan duduk di rukun syami sampai terbit matahari, kemudian solat zuhur di Madinah, solat asar di Baitul Maqdis dan solat Maghrib dan Isya’ di Al-Iskandari. 8. Dalam Fadha’ilush Shadaqah hal. 588. Ada diceritakan bahawa: Abu Muhammad Al Jurairi melaksanaknan I’tikaf di Mekah selama setahun penuh, tidak tidur tidak pula bersandar di dinding atau tiang. 9. Dalam Fadhailul Hajj, hal 135 Seseorang bertanya kepada Nabi Khidr, “Apakah kamu melihat seseorang yang lebih mulia daripada dirimu?” Maka menjawab Nabi Khidir, “Pada suatu ketika aku berada di dalam masjid Muhammad (di Madinah). Pada waktu itu Imam Abdurrazaq sedang mengajari jama’ah tentang hadits Nabi, maka aku melihat seorang pemuda duduk sendiri di pojok masjid sambil meletakkan kepalanya di atas kedua lututnya. Aku bertanya padanya, ‘Mengapa kau tidak mengikuti majlis Abdurrazaq dan mendengarkan hadits-hadits Nabawi’. Dia menjawab, ‘Di sana jama’ah mendengarkan pengajian dari Abdurrarzaq, namun di sini ada seorang sendirian mendengarkan pelajaran Abdurrazaq tanpa ada orang lain.’ Kemudian Nabi Khidr berkata, ‘Jika benar demikian maka katakanlah siapakah aku ini?’ Dia menjawab ‘Kamu adalah nabi Khidr’. Nabi Khidr berkata. ‘...dengan demikian aku mengetahui bahawa ada sebahagian wali Allah yang tidak aku ketahui disebabkan ketinggian darjatnya.” (Tablighi Nishab, bab Fadha’ilul Hajj, hal 135) Banyak lagi hikayat lainnya di samping dongeng di atas, yang berselerak di dalamnya mitos, kebatilan, khurafat dan bid’ah. Apakah gerangan yang diinginkan oleh pengarang buku tersebut dengan memuatkan segala malapetaka itu? Bagaimana mungkin Jama’ah Tabligh menerima sesuatu yang rasanya pahit ini? Bagaimanakah sikap ulama’ mereka terhadap bahaya sufistik ini? Apakah ada yang bisa menjawab? Hanya Allah lah tempat mengadu! Kenyataan ulama-ulama sunnah tentang Jama'ah Tabligh Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashrudin Al-Albani –Rahimahullah- dalam fatwa Al-Imarotiyah hal. 30 ketika ditanya tentang jama’ah tabligh, beliau memberikan jawaban: “Dakwah Jama’ah Tabligh adalah sufi masa kini (shufiyyah ashriyyah) yang tidak berpijak kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya…” • Fatwa terakhir Samahatusy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim ‘alu Syaikh –Rahimahullah- : “Saya jelaskan bahwa jam’iyyah ini (jama’ah tabligh, peny.) adalah jam’iyah yang tidak ada kebaikan padanya. Sebab itu jam’iyah ini adalah bid’ah lagi sesat menyesatkan.”(fatwa Syaikh Ibrahim, hal. 405 tanggal 29/1/82 H) • Fatwa terakhir Al-Allamah Samahatusy-Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz –Rahimahullah-, Ketika beliau ditanya mengenai jama’ah tabligh, lalumenjawab: “…Jama’ah Tabligh dari India yang sudah dikenal ini terdapat khurafat, bid’ah dan syirik pada mereka…” (fatwa terakhir Syaikh bin Bazz dikutip dari kaset Ta’qib Samahatusy-Syaikh Abdul Aziz bin Bazz ‘ala Nadwah.) • Syaikh Hammud bin Abdullah At-Tuwaijiri –Rahimahullah- ketika ditanya tentang jama’ah tabligh, beliau menjawab secara terperinci dalam Al-Qoul Al-Baligh fi ar-Roddi ‘ala jama’atit tabligh yang intinya adalah: “Saya katakan bahawa jama’ah tabligh itu kelompok yang sesat lagi bid’ah. Mereka tidaklah mengikuti jalan yang telah ditempuh Rasulullah dan sahabatnya, juga para tabi’in. Akan tetapi mereka mengikuti cara sufiyyah yang bid’ah…” • Syaikh Ali Hasan ketika ditanya mengenai kebaikan jama’ah tabligh kerana banyaknya pemuda yang masuk Islam melalui dakwah mereka, dia menjawab: “Perkataan itu benar namun kurang! Benar jama’ah tabligh menda’wahi banyak manusia dimana menghasilkan orang yang dahulunya berandalan sekarang bertaubat, tetapi sebagaimana pendapat ulama’, bahwasanya hidayah itu ada dua, yakni hidayah ‘ila thariq (ke jalan) dan hidayah fi thariq (di jalan). Ya... memang jama’ah tabligh ini mendakwahi manusia ‘ila thariq, tapi mereka tidak berdakwah fi thariq. Bagaimana tidak, aqidah mereka saja hancur! Mereka mengatakan dalam kitab mereka yang masyhur Tablighi Nishab yang penuh dengan khurafat serta penyimpangan-penyimpangan…” (kaset muhadharah Syaikh Ali berjudul Manhaj as-Salaf). • Fatwa Lajnah Al-fatawa fi idaratil Buhuts al-ilmiyyah wal ifta’ wad da’wah wal irsyad, menyatakan: “Jama’ah Tabligh sangat berlebihan dalam hal-hal negatif dan generalisasi terhadap suatu masalah. Jama’ah tabligh tidak jelas mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah dalam berdakwah sampai dengan perincian prinsip-prinsip syariat Islam dan cabang-cabang hukumnya…” (dinukil oleh Ust. Falih Nafi’ dalam kitabnya Ad-Diinun-Nashiihah hal 17-1 Nasihat bagi Jama'ah Tabligh Kami ingin menasihatkan jama’ah tabligh dan orang-orang yang bersimpati pada dakwah mereka, termasuk orang-orang yang mengabaikan ukhuwwah dan tidak menegakkan asas saling menasihati dengan membiarkan kebatilan dan kesalahan seperti ini dipendam dengan tujuan menjaga ukhuwwah dan supaya ummat tidak terpecah belah, agar: i). Bertaqwa kepada Allah, takut akan siksa-Nya dan azab-Nya. Menjauhi apa-apa yang dilarang-Nya dan meninggalkan segala hal yang mengakibatkan murka-Nya. ii). Bertaubat kepada Allah akan kesalahan-kesalahan kita, berjanji tidak akan mengulanginya, dan meninggalkan segala pemahaman-pemahaman sesat dan salah yang selama ini kita pegang. iii). Menuntut ilmu agama yang syar’i selaras dengan pemahaman salaf ash-sholih, mengamalkannya, mendakwahkannya dan sabar dalam memeliharanya. iv). Sentiasa menegakkan asas nasihat-menasihati dan tolong menolong dalam kebenaran dan ketaqwaan.

Habib Mundzir

Habib Mundzir al Musawa Tentang Jemaah Tabligh
Dakwah butuh Ilmu


Mereka mesti kita perlakukan sebagaimana kita memperlakukan saudara kita muslimin, dihimbau dg sopan dan dinasehati untuk memperdalam ilmu, sebab mereka itu para da'i, da'i adalah derajat mulia, namun da'i yg tak berilmu akan menyesatkan ummat, oleh sebab itu kita mesti mengingatkan mereka, agar mereka terus berdakwah namun memperdalam ilmunya, jangan hanya besar semangat dalam menasehati orang namun lupa bahwa menasehati orang itu butuh keluasan ilmu, karena bisa mneyesatkan banyak orang. bukan berarti mereka itu kesemuanya tak berilmu, banyak diantara para ulama dan fuqaha yg mengikuti jamaah tabligh dan khuruj, namun secara program keseluruhannya, jamaah tablig mengajak orang orang untuk berdakwah, dan kebanyakan dari kelompok mereka yg baru bertobat, hal ini sangat baik bagi personil tabligh itu sendiri, namun acapkali merusak pemahaman masyarakat, karena masyarakat banyak bertanya hukum2 kepada mereka dan mereka memberikan jawaban yg tidak benar.Dan salah satu dari program jamaah tabligh adalah tidak terpaku pada madzhab, hal ini baik maksudnya, karena demi persaudaraan muslimin antara mereka, namun buruk dampaknya bila dilakukan oleh orang yg kurang berilmu, mereka akan bercampur baur antara pemahaman syiah, sunnah, al irsyad, sufi dll hingga muncullah bentuk pemahaman yg tak menentu, mereka tidak mau mengacu kepada ulama syafii, karena tak mau fanatik madzhab, padahal justru hal yg benar adalah berpegang pada satu madzhab namun menghargai madzhab lainnya, Kebanyakan dari jamaah tabligh masuk ke masjid yg bermadzhab syafii, mengimami shalat dan tak mengucap basmalah, atau mengimami subuh dan tak berqunut, maka ini justru meresahkan masyarakat, memang betul hal hal seperti ini adalah ikhtilaf furu'iyah, tapi tidak sepantasnya dilakukan dihadapan masyarakat awam hingga mereka bingung mana sih yg benar?, karena dakwah bukan sembarang menasihati, namun butuh uslub (metode) yg jelas dan menyesuaikan diri dg keadaan masyarakat setempat. Saudaraku saya bukan memfitnah, belasan masjid yg mengadukan hal ini, dan saya mengenal jamaah tabligh bukan hanya di Indonesia, namun sejak saya menuntut ilmu di Yaman saya telah jumpa dg mereka, sejak th 1994 kami bergaul  akrab dg mereka, Guru saya (Habib Umar Ibn Hafidz) pun berpendapat sama dengan yg saya  sampaikan, bahwa Jamaah Tabligh mempunyai celah yg perlu diperbaiki, yaitu eterbatasan ilmu syariah dari personilnya, karena personilnya bukan ratusan, tapi jutaan, bahkan di Yaman kebanyakan Jamaah Tabligh terpengaruh faham Ibn Abdulwahhab yg memusyrikkan muslimin yg tawassul dlsb, dan sebagian di Indonesia pun demikian. Guru saya banyak bergaul dan pernah khuruj dengan Jamaah Tabligh, demikian pula ayah beliau, Al Allamah Alhabib Muhammad bin Salim bin Hafidh, beliau pernah pula hadir ke Pakistan untuk menghadiri ijtima' tahunan Jamaah Tabligh. Saya pun pernah khuruj dg jamaah tabligh di Makasar, hingga bersama sama ke Pinrang, mereka ramah, sopan dan mencintai sunnah, namun itulah barangkali ada kekurangannya, yaitu keterbatasan ilmu dari sebagian besar personilnya, hingga tercampurnya banyak pemahaman. Saya sesekali tak mengatakan bahwa mereka ini sesat, mereka ini mencintai sunnah, programnya adalah menegakkan sunnah, maksudnya adalah dakwah semata, dan dasar utamanya adalah sufi, namun ada beberapa hal yg perlu dikoreksi.

DR. ZAKIR NAIK